Senin, 06 Juni 2011

"Merger Program Studi Pertanian, Peluang atau Ancaman?”


Kajian Internal Kementerian Pertanian BEM KM IPB
30 Mei 2011
Merger Program Studi Pertanian, Peluang atau Ancaman?”
Sejak dikeluarkannya Surat Keputusan Dirjen Dikti No 163/DIKTI/KEP/2007 tentang Penataan dan Kodifikasi Program Studi pada Perguruan Tinggi, beberapa program studi mulai digabung (di-merger) menjadi program studi baru sesuai penamaan yang sudah ditentukan oleh Dikti, tidak terkecuali pada Fakultas Pertanian. Saat ini, terdapat empat program studi strata 1 yang dinaungi Fakultas Pertanian, yaitu Agroekoteknologi, Agribisnis, Produksi Ternak, dan Teknologi Industri Pertanian. Ide penggabungan ini pertama kali di-sounding-kan pada tahun 2005, hingga akhirnya dituangkan dalam SK Dikti, dan diterapkan pada berbagai perguruan tinggi di Indonesia saat ini (kecuali PT yang saat itu masih berstatus BHMN, termasuk IPB dan UGM). Perlu diketahui, agroekoteknologi merupakan program studi hasil merger dari beberapa program studi yang meliputi: agronomi, holtikultura, pemuliaan tanaman, arsitektur lanskap, budidaya pertanian, ilmu tanah, serta hama dan penyakit tanaman. Sedangkan program studi agribisnis merupakan hasil peleburan dari program studi sosial ekonomi pertanian, agribisnis, penyuluhan dan komunikasi pertanian, serta gizi masyarakat dan sumberdaya keluarga.
Menurut hasil kajian Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se-Indonesia (FKPT-PI), pada awalnya rencana merger  program studi (prodi) ini dilatar belakangi oleh dua  masalah pokok, yakni program studi “dirasakan sempit dan lebih berorientasi pada aspek pendalaman ilmu”, serta “terdapat beberapa program studi yang kurang diminati”. Memang, sejak beberapa tahun lalu, minat siswa lulusan SMA untuk melanjutkan studi di bidang pertanian, cenderung menurun. Direktur Direktorat Akademik Dirjen Pendidikan, Ibu Ilah Sailah menyebutkan bahwa hanya tinggal 190 Perguruan Tinggi yang memiliki fakultas pertanian  yang masih bertahan, sedangkan lainnya tutup karena sepi peminat. Untuk mengatasi problematika ini, beliau menyatakan bahwa salah satu cara yang ditempuh adalah melakukan revitalisasi dengan me-merger program studi  (Pikiran Rakyat Online).
Lalu, apa yang menjadi masalah? Beberapa hari yang lalu, sejumlah surat kabar daerah mengangkat sebuah headline yang cukup mencengangkan, “Kementan Kekurangan Pegawai Ahli Pertanian”. Sebuah ironi, mengingat setiap tahun, ratusan lebih sarjana pertanian lulus dari institusi pendidikan di negeri ini. Dilansir dari salah satu surat kabar, Sekjen Kementan, Hari Priyono menyatakan bahwa saat ini Kementan sulit mencari ahli pertanian karena beberapa program di fakultas pertanian dihapus. Sehingga, untuk mengatasi kekurangan ahli pertanian tersebut, Kementan terpaksa memberikan pelatihan bidang-bidang tertentu pada pegawai yang ada. Dapat dibayangkan, masalah pertanian semakin banyak, sementara tenaga ahli yang tersedia masih jarang.
Hipotesis saat ini, jelas, terdapat korelasi antara peleburan beberapa program studi lama terhadap minimnya ahli-ahli pertanian yang lahir dan siap diterjunkan di lapang. Tentu saja, akibat adanya merger, kurikulum yang ada mengalami sejumlah perubahan, terutama pemadatan sejumlah mata kuliah.  Hal ini menyebabkan mahasiswa hanya mendapatkan konsep-konsep umum saja, dan baru akan mengambil spesialisasi saat mereka berada di tingkat akhir. Tidak hanya itu, masalah akreditasi juga cukup rumit, dan untuk menguji eligibilitas pengajuan akreditasi program studi, diperlukan waktu setidaknya 5 tahun. Lalu, sudahkah dipikirkan nasib mahasiswa aktif di program studi yang lama, terutama jika masa akreditasi prodi lama telah habis, apakah mereka dapat tercatat mengikuti akreditasi prodi yang baru?
Jika ditelusuri, melihat fenomena yang ada, mungkinkah antara Kementerian Pertanian RI dan Direktorat Pendidikan Tinggi, kurang terdapat koordinasi yang baik? Di satu pihak, Kementan membutuhkan ahli-ahli pertanian berkualitas yang “disuplai” dari lulusan perguruan tinggi. Sementara di pihak lain, karena kewalahan untuk mempertahankan eksistensi fakultas pertanian, Dikti harus menyiasati dengan melakukan pengerucutan program studi, agar menarik lebih banyak minat calon mahasiswa.
Sejauh ini, output yang diharapkan dari kajian ini adalah agar mahasiswa dapat memberikan rekomendasi, agar jangan sampai terdapat stakeholder yang salah dalam mengambil kebijakan. Evaluasi terhadap kebijakan yang terlanjur dikeluarkan ini memiliki urgensi yang tinggi, jangan sampai masa depan mahasiswa menjadi percobaan hanya untuk memenuhi suatu standar tertentu. Tentu saja, meski IPB tidak mengalami kekosongan pada bangku-bangku di bidang pertanian,  IPB memiliki tangggung jawab untuk mengatasi terus menurunnya minat generasi muda, dengan mengubah citra pertanian dan membuktikan melalui lulusannya yang berkualitas, yang mau dan mampu untuk turut serta berkontribusi memajukan dunia pertanian masa kini dan masa depan.
***
Kementerian Pertanian BEM KM IPB
Kabinet IPB Bersahabat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar