Selasa, 11 Januari 2011

"Whats’s Wrong Within The Increasing Chili price Phenomenon in Indonesia ?"

Since the end of 2010, the Price of chili have been increasing. The price may reach several times higher than normal price. People was wondering, what exactly lies behind this phenomenon? Chili is actually only a small part of the scope of this farm, but it capable to make many people fidgety.

Minister of Agriculture BEM KM IPB identifies there are three main problems causing the price increase of chili. The First problem are pests and diseases that attack the chilies and dicreasing chili’s productivity. There are several types of diseases that damaged chili plants, it’s such jaundice and anthracnose. Jaundice is caused by a Gemini virus and it have been damaged in Bojonegoro, East Java and damaged up to 30% of production. Today, this disease outbreak has been discovered in West Java, Yogyakarta, and South Kalimantan. Meanwhile, with rainfall that is still quite intense, allowing the Colletotrichum capsisi fungus, cause disease of anthracnose growing and destroy between 20-90% of production. One of the reasons expressed by the government to respond this phenomenon is “the rain” which made chili became rotten, and it made many farmers become failure of harvesting. Scientifically, the contains of rain is Nitrogen then absorbed by the soil, in addition the provision of Nitrogen content too much by farmers, made elemental of Nitrogen absorbed by plants becomes excessive, so the process of decomposition occur faster.

The second problem are natural disasters of the eruption of Mount Merapi which makes a variety of agricultural crops around the disaster site to be damaged. Magelang as one of center of chili , also affected by volcanic ash, so it became the reasons for increasing price of chili and other vegetables.

The last problem is the act of dealers or speculators who control the market price. Chili is one commodity that demand tends to increase as population growth in the world. In our country in particular, the need for chili always increases when there are celebrations, and if the productivity of chili decreased, the speculators will play a trick to raise prices, finally competition occur among customers who really need it. At least three problems above are able to give an idea to determine what steps should take by the students, and what solutions can be offered to the government.

Synergy between the various stakeholders must be prioritied over personal interests. Minister of Agriculture BEM KM IPB added, cluster systems which have been implemented in Tegal, which consist of entrepreneurs, governments, institutions, and farmers, can become a good example. It is necessary to improve the bargaining position of farmers, so that not always felt the smallest benefits, or in other word they suffering a financial lose actually. One of the study participants revealed that for agricultural commodities such as chili, which is the raw material that can be processed into other products, has different value between present value and future value . The prices of fresh chili is fluctuative , and currently experiencing an increase, but it not occur to bottled sauce based chili, prices tend not changed. Quoted Minister of Trade, that when the price of pepper rose, we have to find substitute goods, do not be too confused. Again it about the culture of Indonesia people who can not change chili with bottled sauce but they should make decisions wisely.

Several solution are tried to offer of this study. The concept of planting chili in the yard to be one alternative. Actually, the Minister of Agriculture had already launched a movement. Then here the role of students to move real, do not let it just be a mere suggestion, without any realization in the field. Although the cultivation of chili is relative easy, people still require assistance to convince that they planted chili successfully, and it grow up and bear fruit. Not only chili actually, the other various of agricultural commodities also can be planted in the yard, or with polybags media. Thus, if oneday their productivity has decreased, and fluctuations in market prices, people do not need to be confuse because they have a backup by planting chili in their own yard. 

Beside that, based on this phenomenon, the government need to make relevant policy on maximum price of chili in the market. Because if it was not applied , the speculators can freely play the price, and would be very detrimental to consumers. Chili price information system also needed to avoid public victimization. In addition, all commodities should get supervision from the government, not just certain commodities, because it is difficult to guarantee price stability and productivity of a commodity. Finally, we require the use of technology dried chili. In addition to a long-term solution, with this technology, will increase the value of products produced.

Therefore, we are from the Ministry of Agriculture BEM KM IPB invite you from various institutional and scientific disciplines, to joint and provide a real solution to this problem. Let's move together, synergic , to create the better future of agriculture. (translated by: arm)


All hail Indonesian Farming!

Ministry of Agriculture BEM KM IPB

Cabinet Of IPB BERSAHABAT 

“ADA APA DENGAN FENOMENA KENAIKAN HARGA CABE DI INDONESIA?”


KAJIAN PERTANIAN
Sabtu, 8 Januari 2011

            Sejak akhir tahun 2010, harga jual cabe di pasaran mulai meroket. Harganya dapat mencapai beberapa kali lipat dibanding dengan harga normal. Masyarakat pun bertanya-tanya, apa sebenarnya yang melatarbelakangi fenomena ini? Cabe yang sebenarnya hanya bagian kecil dari lingkup pertanian ini, mampu membuat resah banyak pihak.

            Menteri Pertanian BEM KM IPB mengidentifikasi tiga permasalahan utama penyebab kenaikan harga cabe. Pertama adalah masalah hama dan penyakit yang menyerang cabe sehingga menurunkan produktivitasnya. Terdapat beberapa jenis penyakit yang mengganggu tanaman cabe saat ini, diantaranya yaitu penyakit kuning dan antraknosa. Penyakit kuning yang disebabkan oleh virus gemini, telah merusak tanaman cabe di Bojonegoro, Jawa Timur hingga mencapai 30 %. Kini, penyakit ini pun telah ditemukan berjangkit di Jawa Barat, Yogyakarta, dan Kalimantan Selatan. Sementara itu, dengan curah hujan yang masih cukup intensif, memungkinkan cendawan Colletotrichum capsisi, penyebab penyakit antraknosa berkembang dan menghancurkan hasil produksi antara 20-90 %. Salah satu alasan yang diungkapkan oleh pemerintah menanggapi fenomena ini adalah hujan yang mengakibatkan cabe menjadi busuk sehingga banyak petani gagal panen. Secara ilmiah, hujan mengandung unsur N kemudian diserap oleh tanah, ditambah lagi pemberian kandungan N pada pupuk yang terlalu banyak oleh petani, mengakibatkan kandungan unsur N yang diserap tanaman menjadi berlebih, sehingga proses pembusukan terjadi lebih cepat.

            Permasalahan yang kedua adalah bencana alam berupa letusan gunung Merapi yang membuat berbagai tanaman pertanian di sekitar lokasi bencana menjadi rusak. Salah satu sentra cabe yaitu Magelang, juga terkena dampak abu vulkanik tersebut, sehingga menjadi alasan terjadinya kenaikan harga cabe maupun sayur mayur lainnya.

             Permasalahan terakhir yaitu adanya ulah bandar atau spekulan yang memainkan harga di pasaran. Cabe adalah salah satu komoditas yang permintaannya cenderung naik seiring pertumbuhan populasi penduduk di dunia. Di negara kita khususnya, kebutuhan akan cabe selalu meningkat saat terdapat perayaan-perayaan, dan jika produktivitas cabe menurun, para spekulan akan memainkan trik untuk menaikkan harga, sehingga terjadi kompetisi antar pelanggan yang sangat membutuhkan cabe tersebut. Setidaknya, ketiga permasalahan tersebut mampu memberikan gambaran untuk menentukan langkah apa yang bisa dilakukan mahasiswa, serta solusi apa yang dapat ditawarkan pada pemerintah.

            Sinergisitas antara berbagai stakeholder harus lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi. Mentan BEM KM IPB menambahkan, sistem kluster yang telah dilaksanakan di Tegal, dimana didalamnya terdapat pengusaha, pemerintah, institusi, dan petani, dapat menjadi contoh yang bagus. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan bargaining position petani, agar tidak selalu menjadi pihak yang menikmati keuntungan paling kecil, jika tidak boleh dikatakan bahwa mereka sebenarnya dirugikan. Salah satu peserta kajian mengungkapkan bahwa untuk komoditas pertanian seperti cabe, yang merupakan bahan baku yang dapat diolah menjadi produk jadi lainnya, memiliki present value danfuture value yang berbeda. Jika harga cabe segar sifatnya fluktuatif, dan saat ini sedang mengalami kenaikan, tidak begitu halnya dengan harga sambal kemasan yang notabene berbahan dasar cabe, harganya cenderung tidak mengalami perubahan. Mengutip pernyataan Menteri Perdagangan RI, bahwa ketika harga cabe naik, carilah barang substitusinya, tidak usah terlalu dipusingkan. Namun kembali, masalah selera yang bermain disini, dan masyarakat lah yang mengambil keputusan.

            Beberapa solusi pun coba ditawarkan dari hasil kajian ini. Konsep menanam sendiri di pekarangan menjadi salah satu alternatif. Sebenarnya, Menteri Pertanian RI pun sudah mencanangkan gerakan ini. Disinilah peran mahasiswa untuk bergerak nyata, jangan sampai semua itu hanya menjadi himbauan belaka, tanpa ada realisasinya di lapang.  Meskipun pembudidayaan cabe tergolong mudah, masyarakat tetap memerlukan pendampingan agar dapat dipastikan bahwa cabe yang mereka tanam berhasil tumbuh dan berbuah. Tidak hanya cabe sebenarnya, berbagai komoditas pertanian lain pun sebenarnya dapat ditanam sendiri di pekarangan, ataupun dengan media polybag. Sehingga, jika suatu ketika produktivitasnya mengalami penurunan, maupun terjadi fluktuasi harga di pasar, masyarakat tidak terlampau panik karena mereka memiliki cadangan dari hasil menanam sendiri di pekarangan ini.

            Selain itu, melihat fenomena ini, pemerintah sebaiknya perlu membuat kebijakan terkait harga maksimum cabe di pasaran. Karena jika tidak dilakukan, para spekulan dapat dengan leluasa memainkan harga tersebut, dan tentunya akan sangat merugikan konsumen. Sistem informasi harga cabe, juga diperlukan agar tidak terjadi pembohongan publik. Selain itu, semua komoditas sebaiknya mendapatkan pengawasan dari pemerintah, bukan hanya komoditas tertentu saja, karena sulit menjamin kestabilan harga maupun produktivitas dari suatu komoditas. Terakhir, kita memerlukan teknologi pemanfaatan cabe kering. Selain dapat menjadi solusi jangka panjang, dengan adanya teknologi ini, akan menambah nilai dari produk yang dihasilkan.

            Oleh karena itu, kami dari Kementerian Pertanian BEM KM IPB mengajak teman-teman dari berbagai kelembagaan maupun disiplin keilmuan, untuk bersama-sama memberikan solusi nyata terhadap permasalahan ini. Mari bergerak bersama, bersinergi, untuk mewujudkan masa depan pertanian yang lebih baik.

HIDUP PERTANIAN INDONESIA!!!
Kementerian Pertanian BEM KM IPB
Kabinet IPB BERSAHABAT