Hasil Kajian Internal Kementerian Pertanian BEM KM IPB*
Perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah distandardisasi. (Razak, 2008)
Pembeli dalam hal ini adalah pemilik industri yang menghasilkan CO2 ke atmosfer memiliki ketertarikan atau diwajibkan oleh hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisme sekuestrasi karbon (penyimpanan karbon dalam jumlah besar). Fasilitas pembangkit tenaga bisa termasuk ke dalam industri ini. Sedangkan yang dinamakan penjual adalah pemilik yang mengelola hutan atau lahan pertanian bisa menjual kredit karbon berdasarkan akumulasi karbon yang terkandung dalam pepohonan di hutan mereka. Atau bisa juga pengelola industri yang mengurangi emisi karbon kemudian mereka menjual emisi mereka yang telah dikurangi kepada emitor lain. (wikipedia indonesia)
Perdagangan karbon merupakan salah satu isi Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi sebagai dampak dari pemanasan global. Mekanisme baru yang muncul dalam perdagangan karbon berkaitan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki.
Lalu muncul pertanyaan hutan yang seperti apa yang layak untuk dilakukan kompensasi. Mendasari Protokol Kyoto dengan mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih, Pemerintah telah memberikan batasan kriteria hutan sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P 14 Tahun 2004, tentang Tata Cara Aforestasi Dan Reforestasi Dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih menyebutkan bahwa hutan dalam rangka mewujudkan Mekanisme Pembangunan Bersih adalah ;
1. Luas hutan minimal 0,25 Ha
2. Posentase penutupan tajuk 30 %
3. Tinggi pohon minimal 5 meter
Perjanjian mengenai perdagangan karbon ini masih menimbulkan pro kontra diantara masyarakat Indonesia. Pihak yang setuju dengan perdagangan ini menyatakan bahwa perdagangan karbon merupakan cara untuk menghasilkan devisa negara namun tetap menjaga kelestarian hutan dan alam Indonesia. Selain itu, perdagangan karbon merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia.
Menurut Mantan Menteri Kehutanan M.S. Kaban, hal ini merupakan peluang yang sangat baik untuk memanfaatkan potensi alam. Tentunya dengan cara lain selain menebang pohon. Karena yang dihitung dalam perdagangan karbon adalah hutan yang ada dijaga kelestariannya dan penanaman pada kawasan bukan hutan. Serta melakukan perbaikan kawasan hutan yang rusak dengan cara reboisasi. Indonesia dengan luas hutannya, berpotensi untuk memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB - GEF - UNDP menunjukkan Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton yang berasal dari pengelolaan hutan. Jika harga rata-rata per ton karbon sebesar US$ 5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$ 3,430 milyar atau sekitar Rp 34 triliun.
Di lain pihak, perdagangan karbon menyebabkan negara berkembang makin tergantung dengan negara maju serta dapat menghambat pembangunannya sendiri. Menurut Koordinator WALHI Bali Sri Widihiyanti, langkah yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dari negara-negara maju. Kenyataan yang ada bahwa Amerika dan Australia menentang cara-cara penurunan emisi dan menawarkan solusi dalam bentuk perdagangan karbon ini. Tanpa penurunan emisi, perdagangan karbon tidak akan mampu menurunkan iklim global yang kini telah mencapai 0,6 derajat celsius, karena 85 % dari total emisi dunia berasal dari negara-negara maju. Yang sangat disesalkan adalah apabila pemerintah Indonesia melanjutkan rencana untuk menjual hutan tropis Indonesia seluas 91 juta hektar untuk penyerapan karbon dengan harga 5 – 20 dollar, yang tidak sebanding dengan bencana ekologis yang telah dan akan kita alami, meskinya negara maju memberikan kompensasi atas semua bencana itu.
Pada dasarnya, kompensasi perdagangan karbon tersebut membawa manfaat bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, mekasismenya harus jelas, baik mekanisme pembayaran sampai ke mekanisme penggunaan dana. Sehingga nominal kompensasi harus benar-benar mencapai sasarannya, yaitu menjaga kelestarian hutan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah tersebut. Kenyatannya, negara-negara maju yang setuju menandatangani perjanjian tersebut masih belum bersedia untuk membayar perdagangan karbon tersebut.
Adapun langkah nyata yang bisa kita lakukan adalah dengan menghemat penggunaan energi, membudayakan jalan kaki ke kampus dari pada naik kendaraan, serta prinsip 4R: reduce, reuse dan recycle serta repair.
*Kajian Internal Kementerian Pertanian BEM KM IPB
Senin, 21 Maret 2011-03-21 pkl 19.00-20.30
di Student Center
Tidak ada komentar:
Posting Komentar