Sejak beberapa pekan terakhir, kasus tuntutan atas susu formula yang tercemar bakteri Enterobacter sakazakii kembali mencuat ke permukaan. Sebenarnya, kasus ini muncul pertama kali pada 2008, dengan BPOM, Menkes, dan IPB sebagai tergugat. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuat sorotan media serta-merta beralih, dari kasus mafia hukum dan korupsi, menjadi kasus pencemaran oleh bakteri?
Permasalahan ini bermula dari tuntutan David Tobing, seorang pengacara publik yang berturut-turut memenangkan tuntutan di level Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Konstitusi (MK), yang berisi agar Institut Pertanian Bogor (IPB), Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk mengumumkan merek susu yang terpapar E. sakazakii sesuai penelitian Dr. Sri Estuningsih (Dosen FKH IPB) yang dilaksanakan mulai tahun 2003. Namun, hingga saat ini, tidak satu pun dari merek yang diindikasi terpapar bakteri tersebut, diumumkan kepada publik. Banyak pihak yang bertanya-tanya, mengapa hal yang menyangkut kemaslahatan masyarakat dan kini cenderung meresahkan, tidak segera dipublikasikan?
Jika kita runut kembali, pada tahun 2003, Ibu Estu melakukan penelitian, dengan mengambil sampling terhadap 22 merek susu formula. Tujuan awal dari penelitian tersebut adalah mencari penyebab diare pada bayi, dengan fokus terhadap Salmonella, Shigella dan E. coli. Beliau juga berharap dapat mengisolasi bakteri-bakteri tersebut. Namun, ditengah-tengah penelitiannya, beliau justru menemukan Enterobacter sakazakii. Pada penelitian dengan sample yang sama hingga tahun 2006, ditemukan kecenderungan bahwa beberapa merek susu yang dijadikan sample telah terpapar bakteri E. sakazakii. Sample susu yang terindikasi tersebut kemudian diteliti virulensinya pada mencit, dan ternyata memberikan pengaruh. Terbukti bahwa dengan kadar konsentrasi atau dengan jumlah bakteri yang cukup tinggi menyebabkan kerusakan jaringan otak. Karena dianggap berbahaya, pada 2006 hasil penelitian tersebut dilaporkan ke BPOM, agar BPOM dapat melakukan penelitian yang lebih memadai, misalnya dengan metode survaillance agar dapat menyertakan keseluruhan merek susu formula dan makanan bayi yang beredar di pasaran. Baru pada 2009 BPOM mengadopsi Codex yang mengatur cemaran E. sakazaki, dan segera melakukan surveillance.
Mengutip keterangan pers BPOM tentang Penjelasan Hasil Pengujian Susu Formula, pada poin ke tujuh, yaitu “Sesuai dengan tugas dan fungsi Badan POM dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat atas produk susu formula bayi yang beredar, maka secara konsisten Badan POM melakukan sampling dan pengujian . Pada tahun 2009 dilakukan sampling dan pengujian terhadap 11 sampel, tahun 2010 sebanyak 99 sampel, dan tahun 2011 sampai dengan awal Februari sebanyak 18 sampel. Hasil pengujian menunjukkan seluruh sampel tidak mengandung Enterobacter sakazakii.” Dengan begitu, sudah jelas bahwa masyarakat tidak perlu khawatir lagi terhadap susu formula bayi yang beredar saat ini.
Memang, meskipun telah ada siaran pers resmi dari BPOM, penjelasan Menkes, dan penegasan dari pihak IPB, tetap saja tuntutan masih bergulir, dan masyarakat masih menyimpan keresahan. Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc., dalam Loka Karya Kemahasiswaan IPB (20/02/2011) menegaskan bahwa penelitian di Institut Pertanian Bogor, sama sekali tidak dipengaruhi oleh otoritas pemerintahan, persaingan dagang, politik, maupun perspektif hukum. Maka, sungguh dangkal jika ada pemikiran bahwa sikap IPB yang tetap teguh untuk tidak mengumumkan hasil penelitian 2003-2006 lalu, semata-mata untuk melindungi produsen, ataupun IPB takut jika mendapat tuntutan balik dari produsen yang merek-mereknya diumumkan. IPB adalah institusi pendidikan yang bermartabat, yang mengerti hukum, dan mematuhi kode etik penelitian. Ketidaksediaan IPB dalam mengumumkan merek tersebut, merupakan wujud dari etika penelitian yang mengedepankan kredibilitas, keadilan, dan nilai moral.
Mungkin, sang penggugat saat ini sedang memperjuangkan keadilan, dengan berdasarkan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di dalamnya disebutkan bahwa konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Namun, jika beliau menggugat IPB untuk tetap mengumumkan, maka justru akan menyalahi prinsip keadilan itu sendiri. Dalam penelitian, sampel yang digunakan belum mencakup seluruh produk yang beredar di pasaran. Bahan yang diuji dalam penelitian adalah sampel yang diambil secara random. Padahal, sampel yang tidak diteliti belum tentu terbebas dari cemaran, sehingga tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis susu yang beredar dipasaran, terutama yang belum menjadi sampel, adalah susu yang tidak tercemar bakteri ini. Hal ini tentu tidak adil dan mendiskriminasi pihak tertentu.
Komnas Perlindungan Anak pun turut angkat bicara dalam masalah ini. Mereka tetap bersikukuh, agar sesuai dengan putusan MA, tiga instansi itu mengumumkan hasil penelitian IPB tahun 2003 – 2006 tentang susu formula yang tercemar bakteri E. Sakazakii. Alasannya adalah masyarakat takut jika efek pencemaran bakteri itu baru muncul 8-10 tahun kemudian. Dalam hal ini, menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, yang dibutuhkan adalah tanggung jawab dari produsen susu. Namun, perlu diketahui bahwa bakteri E. Sakazakii akan mati dalam 15 detik jika berada pada suhu 70 derajat celcius atau lebih. Maka, bahaya-bahaya yang mungkin muncul, dapat ditangani dengan cara penyajian susu secara benar, seperti penyeduhan susu dengan air panas (72°C). Pemberian susu formula pun dianjurkan hanya untuk bayi berusia 6 - 12 bulan, bukan yang berusia 0 – 6 bulan apalagi bayi yang terlahir premature.
Jelas sekali, banyak hal yang perlu diluruskan di sini. Jika menanyakan hasil transparansi sebuah penelitian, hal tersebut telah disampaikan IPB melalui jurnal-jurnal ilmiah, yang merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban ilmiah untuk dapat dimanfaatkan kembali. Selain itu hasil penelitian Dr. Estu telah dipresentasikan pada rapat penentuan standar mutu pangan di BPOM pada tahun 2006, dan telah dipublikasikan pada jurnal internasional seperti Journal of Food Protection Vol. 69 tahun 2006 dan International Journal of Food Microbiology Vol. 116 tahun 2007 dan Vol. 136 tahun 2009. Kemudian tentang pembuktian pengaruh yang ditimbulkan bakteri terhadap mencit, perlu diketahui bahwa konsentrasi yang diujikan pada bayi mencit, tentu berbeda dengan konsentrasi yang terkandung dalam susu formula. Tentunya hal tersebut akan memberikan hasil yang berbeda. Selain itu, yang berwenang untuk mengumumkan merek susu formula atau merek obat dan makanan yang mengandung sesuatu yang mencurigakan adalah Badan Pemeriksa Obat dan Makanan (BPOM). IPB tidak memiliki kewenangan untuk mengumumkan atau melarang suatu makanan atau obat supaya tidak dikonsumsi oleh masyarakat.
Kita perlu berpikir jernih dalam menyikapi permasalahan bakteri E. sakazakii. Jangan sampai hanya terbawa arus, dan ikut-ikutan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Media memiliki peran besar dalam hal ini. Seyogyanya, apa yang harus dilakukan oleh media adalah melakukan upaya untuk mendewasakan masyarakat. Masyarakat lebih memerlukan solusi daripada narasi-narasi yang membuat resah, apalagi jika sampai terjadi distorsi. Maka, kita harus benar-benar pandai memilah informasi, menganalisis, dan mencoba mencari solusinya. (lnb)